Sinjai.Wahdah.Or.Id -- Ibadah kurban adalah bentuk pendekatan diri kepada Allah ﷻ yang sangat dianjurkan, terlebih di hari-hari yang penuh keutamaan pada bulan Zulhijjah. Namun sering timbul pertanyaan di masyarakat, apakah seseorang boleh berkurban atas nama orang yang telah wafat?
Kesepakatan Ulama dalam Kasus Wasiat
Para ulama sepakat bahwa jika seseorang berwasiat semasa hidupnya agar dilakukan kurban setelah ia meninggal, maka wajib bagi ahli warisnya melaksanakan wasiat tersebut selama memiliki kemampuan. Ini berdasarkan firman Allah ﷻ:
فَمَنْۢ بَدَّلَهٗ بَعْدَمَا سَمِعَهٗ فَاِنَّمَآ اِثْمُهٗ عَلَى الَّذِيْنَ يُبَدِّلُوْنَهٗۗ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌۗ
“Siapa yang mengubah wasiat itu setelah mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya hanya bagi orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 181)
Perbedaan Pendapat Jika Tanpa Wasiat
Apabila tidak ada wasiat atau wakaf, para ulama berbeda pendapat:
1. Pendapat Mayoritas Ulama (Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah)
Mereka membolehkan berkurban untuk mayit karena amal seperti sedekah dan haji juga bisa sampai pahalanya kepada yang telah meninggal. Bahkan ada riwayat bahwa Nabi ﷺ sendiri pernah berkurban untuk umat beliau yang tidak sempat berkurban.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: «ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِكَبْشَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ، أَحَدُهُمَا عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، وَالْآخَرُ عَنْهُ وَعَنْ مَنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِهِ»
Dari Abu Hurairah, beliau berkata: “Rasulullah ﷺ berkurban dengan dua ekor kambing jantan yang bertanduk dan berwarna dominan putih. Satu untuk beliau dan keluarganya, dan yang satu lagi untuk beliau dan umat beliau yang tidak berkurban.”
(HR. At-Thabarani, al-Mu‘jam al-Awsath, no. 1891, juz 6, hal. 650)
2. Pendapat Madzhab Syafi‘iyah
Madzhab Syafi‘iyah berpendapat tidak diperbolehkan berkurban untuk orang yang sudah wafat kecuali jika ada wasiat. Imam An-Nawawi dalam al-Minhaj (hal. 538) mengatakan:
ولا تضحية عن الغير بغير إذنه، ولا عن ميت إن لم يوص بها
“Tidak boleh berkurban untuk orang lain tanpa izinnya, dan tidak boleh berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia jika tidak ada wasiat darinya.”
Tiga Bentuk Praktik Kurban untuk Orang yang Telah Wafat
1. Kurban Kolektif (Ikut Sertakan yang Meninggal)
Misalnya seseorang berkurban atas nama diri dan keluarganya, termasuk yang telah wafat. Ini diperbolehkan karena Nabi ﷺ pernah menyertakan seluruh keluarganya dalam kurban, termasuk istri beliau Khadijah radhiyallahu ‘anha.
2. Kurban Karena Wasiat
Jika orang yang wafat mewasiatkan kurban, maka itu wajib ditunaikan jika ahli waris mampu. Ini berdasarkan QS. Al-Baqarah: 181.
3. Kurban Berdiri Sendiri untuk Mayit
Misalnya seseorang berkurban hanya atas nama ayah atau ibunya yang telah wafat, tanpa mewakili dirinya sendiri. Pendapat yang kuat membolehkan ini, berdasarkan qiyas atas amalan sedekah dan haji yang pahalanya bisa sampai kepada mayit. Namun, tidak ada dalil tegas (nash sharih) bahwa Nabi ﷺ pernah melakukannya. Beliau tidak berkurban khusus untuk Hamzah, anak-anaknya yang wafat, ataupun Khadijah.
Karena itu, para ulama menyarankan untuk tidak menjadikan ini sebagai kebiasaan atau mendahulukan bentuk kurban ini dibanding kurban atas nama sendiri.
Kesimpulan
Berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia:
✅ Boleh, menurut mayoritas ulama.
✅ Wajib, jika ada wasiat atau wakaf dari yang meninggal.
⚠️ Tidak utama jika dilakukan secara berdiri sendiri tanpa ada wasiat, karena tidak ada contoh dari Nabi ﷺ dan para sahabat. Lebih baik diikutkan bersama kurban keluarga.
Semoga kurban kita diterima oleh Allah dan menjadi amal jariyah bagi orang-orang tercinta yang telah mendahului kita.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Oleh: Ustaz Fadli Aiman, S.H., M.H.
Ketua Yayasan Pendidikan Al-Islami Sinjai