Pemimpin Sebagai Teladan

Sketsa kehidupan manusia yang merupakan makhluk sosial memang memfitrahkan adanya pimpinan dan yang dipimpin. Juga menggariskan bahwa kepemimpinan adalah sesuatu yang mesti ada dalam setiap tatanan keluarga, masyarakat atau batas wilayah tertentu. Sebab itu, saya, anda dan semua umat manusia tak akan berbeda pandangan dalam keabsahan statemen ini. Akan tetapi problem yang sanggup membuat adanya perbedaan persepsi adalah “kriteria kepemimpinan” itu sendiri.

Hikmah | 17 Nov | Selengkapnya ...

Mutiara Kecil di Tengah Gemerlap Kota Sinjai

sinjai.wahdah.or.id -- Hari itu, penggalangan dana kemanusiaan untuk Palestina oleh Wahdah Inspirasi Zakat (WIZ) Sinjai dilakukan di salah satu sudut kota Sinjai. Mobil-mobil mewah berlalu lalang, tetapi tak satu pun berhenti. Menjelang maghrib, kelelahan mulai terasa, dan niat untuk pulang muncul.  

Dari kejauhan, seorang anak kecil terlihat berjalan mendekat, menenteng balon-balon dagangannya. Bingung apa yang diinginkannya, langkahnya terhenti di depan dan ia memasukkan uang ke dalam kotak donasi dengan senyuman lebar.  

Sikapnya menusuk relung hati. Dengan kondisi yang terlihat sederhana, ia masih mau berbagi. Padahal, sepertinya tak banyak balon yang terjual hari itu. Salah seorang Ustaz pernah berkata, "Salah satu ciri orang yang bertakwa adalah berinfak dikala lapang dan juga sempit".

Anak itu memberikan pelajaran besar. Sering kali, keluhan muncul dalam berbagi, egoisme menguasai, dan perhitungan menjadi penghalang. Tapi, bocah kecil ini menunjukkan ketulusan tanpa pamrih, mengajarkan makna berbagi dengan hati yang murni.  

Perbincangan kecil terjadi dengannya, mendengar tentang tempat tinggal dan harapan sederhana yang dimilikinya. Doa dipanjatkan, semoga Allah menjaga hatinya tetap bersih hingga dewasa dan memberinya masa depan yang cerah.  

Ketika jemputan tiba, salam perpisahan diucapkan dengan harapan bisa bertemu kembali. Dalam perjalanan pulang, air mata tak tertahan. Anak kecil itu, dengan segala kesederhanaannya, berhasil menyentuh sisi terdalam jiwa. Ia bagaikan mutiara yang bersinar di tengah lumpur kehidupan.  

Sejak hari itu, setiap melewati kota Sinjai, pandangan selalu mencari-cari sosok kecil itu. Namun, pertemuan kembali tidak pernah terjadi. Meski begitu, doa-doa terbaik selalu dipanjatkan untuknya. Semoga Allah senantiasa melindungi dan memuliakannya, serta memberikan pelajaran berarti kepada semua yang pernah bertemu dengannya.

Oleh: Ikhlasul Amal

Hikmah | 05 Des | Selengkapnya ...

Etika Publikasi Lamaran di Era Digital, Ustaz Mustamin: Jaga Privasi dan Kehormatan Keluarga

Sinjai, sinjai.wahdah.or.id — Fenomena publikasi lamaran di media sosial kini menjadi tren di kalangan generasi muda. Namun, di balik semaraknya unggahan tersebut, muncul risiko fitnah dan kegaduhan sosial jika lamaran itu belum bersifat final. Hal ini disampaikan oleh Ustaz Mustamin S.Pd.I., S.Sos.I. dalam dalam program CAS AKI (Carita Santai Agama Kita) yang digelar di Cafe Karampuang, Sinjai, baru-baru ini.

https://youtu.be/6cx8ibHdwtk?si=w9OtwRNqmil2ZOgN

Dalam kesempatan tersebut, Ustaz Mustamin yang juga seorang penyuluh agama dan konselor keluarga di Wahdah Islamiyah Sinjai mengimbau masyarakat untuk tidak tergesa-gesa dalam mengumumkan prosesi lamaran kepada publik, khususnya melalui media digital.

“Publikasi boleh dilakukan jika prosesnya sudah hampir final, minimal 90% kesepakatan telah tercapai. Misalnya uang panai sudah diserahkan dan jadwal mapettuada sudah ditetapkan,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa pengumuman yang dilakukan terlalu dini, apalagi saat masih berada di tahap tawar-menawar, justru bisa menjadi bumerang. Ketika lamaran batal, bukan hanya mempermalukan keluarga, tapi juga berpotensi menimbulkan fitnah.

“Menjaga privasi dan kehormatan keluarga dalam proses pernikahan itu penting. Jangan sampai hanya karena ingin terlihat ‘update’, kita justru membuka aib sendiri,” tambahnya.

Ustaz Mustamin juga mengaitkan hal ini dengan pesan Al-Qur’an dalam surah Al-Hujurat ayat 12:

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan jangan menggunjing satu sama lain...” (QS. Al-Hujurat: 12)

Di akhir diskusi, beliau mengajak seluruh peserta untuk lebih bijak menggunakan media sosial, terlebih dalam urusan sakral seperti pernikahan.

Reporter: Ikhlasul Amal

Editor: MEDIKOM Wahdah Sinjai

Hikmah | 23 Apr | Selengkapnya ...

Ustaz Mustamin Soroti Pembatalan Lamaran Sepihak: Tempuh Musyawarah, Jaga Silaturahmi

Sinjai, sinjai.wahdah.or.id — Pembatalan lamaran secara sepihak tanpa musyawarah dinilai sebagai tindakan yang tidak bijak dan berpotensi menimbulkan luka sosial. Hal ini disampaikan oleh Ustaz Mustamin S.Pd.I.,S.Sos.I. dalam lanjutan diskusi edukatif bertajuk CAS AKI (Carita Santai Agama Kita) yang digelar di Cafe Karampuang, Sinjai.

“Jika lamaran sudah disepakati, lalu tiba-tiba dibatalkan secara sepihak tanpa komunikasi yang baik, ini bisa merusak silaturahmi dan menimbulkan kekecewaan mendalam, terutama bagi pihak yang dirugikan,” ujar Ustaz Mustamin yang juga dikenal sebagai praktisi parenting dan konselor keluarga di Wahdah Islamiyah Sinjai.

Ia menekankan pentingnya menyelesaikan persoalan semacam ini dengan duduk bersama dan bermusyawarah, sebagaimana nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam. Hal ini tertuang dalam firman Allah SWT:

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan melaksanakan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka...”  (QS. Asy-Syura: 38)

Menurutnya, dalam kasus lamaran yang batal karena faktor teknis seperti ketidakmampuan memenuhi persyaratan yang disepakati sebaiknya disampaikan dengan terbuka dan disepakati bersama oleh kedua belah pihak.

“Musyawarah adalah jalan tengah untuk menjaga marwah dan hubungan baik antar keluarga. Jangan sampai proses lamaran yang sejatinya suci justru menjadi sumber perpecahan,” tegasnya.

Dengan menekankan nilai transparansi, komunikasi, dan musyawarah, Ustaz Mustamin berharap masyarakat lebih dewasa dalam menyikapi proses pra-nikah, sehingga tercipta keluarga yang kokoh sejak awal.

Link YouTube: https://youtu.be/6cx8ibHdwtk?si=w9OtwRNqmil2ZOgN

Reporter: Ikhlasul Amal

Hikmah | 24 Apr | Selengkapnya ...

Status Wali Anak Hasil Zina Menurut Syariat

Sinjai, sinjai.wahdah.or.id — Membahas persoalan hukum wali nikah bagi anak yang lahir dari hubungan di luar pernikahan. Hal ini menjadi topik yang disampaikan dalam lanjutan diskusi edukatif bertajuk CAS AKI (Carita Santai Agama Kita) yang digelar di Cafe Karampuang, Sinjai.

Beliau menegaskan bahwa menurut syariat Islam, anak hasil zina tidak dinasabkan kepada ayah biologisnya, sehingga ayah tersebut tidak sah menjadi wali dalam pernikahan anak tersebut.

“Dalam kasus ini, wali nikah bagi anak tersebut adalah wali hakim. Karena secara hukum syariat, ayah biologis tidak memiliki hak perwalian,” ujar Ustaz Mustamubi.

Sebagai landasan, beliau mengutip sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

"Anak itu (nasabnya) bagi pemilik ranjang, dan bagi pezina adalah batu (tidak mendapat nasab)." (HR. Bukhari dan Muslim)

Penjelasan ini menjadi pengingat penting bagi masyarakat untuk menjaga keabsahan jalur nasab dan hak perwalian dalam proses pernikahan, sebagaimana diatur dalam syariat Islam.

 

Hikmah | 26 Apr | Selengkapnya ...

Bapak Angkat Tidak Sah Menjadi Wali Nikah, Ini Penjelasannya

SINJAI, sinjai.wahdah.or.id — Dalam sesi bincang-bincang edukatif bertajuk CAS AKI (Carita Santai Agama Kita) yang digelar di Cafe Karampuang, Sinjai. Ustaz Mustamin, S.Pd.I.,S.Sos.I., menjelaskan pentingnya memahami syarat sah wali dalam akad nikah. Beliau menanggapi kasus seorang anak perempuan yang dinikahkan oleh bapak angkatnya.

"Perwalian dalam nikah harus berasal dari jalur nasab laki-laki, yakni ayah kandung, kakek, saudara laki-laki sekandung, paman, dan seterusnya. Jika tidak ada wali nasab, maka perwalian berpindah kepada wali hakim," terangnya di hadapan peserta.

Beliau menambahkan bahwa bapak angkat, meskipun telah membesarkan anak tersebut, secara syariat tidak memiliki hak menjadi wali dalam akad nikah.

Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

"Tidak sah nikah tanpa wali." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Dengan demikian, menjaga ketertiban perwalian dalam pernikahan menjadi bagian dari upaya menegakkan syariat dan memastikan keabsahan pernikahan di sisi Allah Ta’ala.

Hikmah | 28 Apr | Selengkapnya ...

Nasihat untuk Generasi Muda: Jaga Diri, Jaga Kemuliaan

SINJAI, sinjai.wahdah.or.id — Menutup rangkaian acara bincang-bincang edukatif bertajuk CAS AKI (Carita Santai Agama Kita) yang digelar di Cafe Karampuang, Sinjai. Ustaz Mustamin S.Pd.I.,S.Sos.I. memberikan pesan khusus kepada generasi muda tentang pentingnya menjaga kehormatan diri di tengah derasnya arus pergaulan bebas.

"Jika belum mampu menikah, maka perbanyaklah berpuasa. Itu adalah benteng terbaik untuk menjaga diri dari godaan syahwat," ujar beliau di hadapan peserta.

Nasihat ini merujuk kepada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

"Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka menikahlah. Sesungguhnya menikah lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu benteng baginya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Lebih lanjut, Ustaz Mustamubi mengingatkan bahwa jodoh yang baik akan datang melalui cara-cara yang diridhai Allah, bukan melalui hubungan yang melanggar syariat.

"Mari jaga diri kita, karena menjaga kehormatan adalah bagian dari menjaga agama," tutupnya.

Hikmah | 29 Apr | Selengkapnya ...

Makna "Lakanūd" dalam Surah Al-‘Adiyat: Pelajaran Besar tentang Syukur dan Kesetiaan

SINJAI, sinjai.wahdah.or.id — Allah Ta'ala berfirman dalam Surah Al-‘Adiyat ayat 6:

"إِنَّ الْإِنسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ"
"Sungguh, manusia itu sangat ingkar kepada Tuhannya." (QS. Al-‘Adiyat: 6)

Dalam ayat ini, Allah menyifati manusia dengan istilah لَكَنُودٌ (lakanūd), yaitu makhluk yang sangat ingkar, tidak bersyukur, dan tidak menghargai nikmat Tuhannya. Padahal, nikmat yang diberikan Allah kepada manusia begitu banyak dan tidak terhitung.

Para ulama memberikan penjelasan yang mendalam tentang hubungan antara gambaran kuda perang pada awal surah dengan sifat manusia yang ingkar pada ayat-ayat selanjutnya. Di antaranya sebagai berikut:

1. Ketaatan Kuda Perang vs. Keingkaran Manusia

Pada ayat-ayat awal Surah Al-‘Adiyat, Allah menggambarkan kuda perang yang berlari kencang, memercikkan api dari tapaknya, dan menyerbu musuh dengan gagah berani atas perintah tuannya. Kuda-kuda ini menunjukkan loyalitas, keberanian, dan pengorbanan total tanpa keluh kesah.

Sebaliknya, manusia — meski diberi akal dan segala kemuliaan — justru sering ingkar kepada Rabb-nya. Mereka melupakan nikmat dan tidak menunjukkan ketaatan sebagaimana mestinya. Ini menunjukkan kontras tajam: hewan tanpa akal mampu setia, sedangkan manusia yang berakal sering ingkar.

2. Perumpamaan Semangat dan Pengorbanan

Kuda perang menjadi simbol semangat juang, dedikasi, dan keberanian. Semangat inilah yang seharusnya diteladani manusia dalam ketaatan kepada Allah. Namun sayangnya, banyak manusia yang justru lebih malas, egois, dan jauh dari semangat berkorban di jalan kebaikan.

Allah mengingatkan dalam ayat lain:

"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah." (QS. Al-Ma'arij: 19)

3. Peringatan tentang Kiamat

Sebagian ulama menafsirkan bahwa kecepatan kuda dalam berlari menyerupai kecepatan datangnya hari Kiamat. Gambaran ini mengajak manusia untuk sadar: waktu terus berjalan, dan hari pembalasan akan datang dengan tiba-tiba. Sayangnya, banyak manusia lalai dan tidak bersiap diri.

4. Sindiran bagi Masyarakat Arab

Dalam konteks masyarakat Arab yang sangat akrab dengan kuda dan peperangan, Allah menggunakan gambaran ini untuk menggugah mereka. Jika kuda yang mereka pelihara bisa begitu taat, mengapa mereka sendiri ingkar kepada Sang Pencipta?


Keutamaan Kuda dalam Islam

Dalam beberapa hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan keutamaan kuda, terutama yang digunakan untuk jihad di jalan Allah:

1. Keberkahan Terikat pada Ubun-Ubun Kuda

Rasulullah bersabda:

"Keberkahan itu terikat pada ubun-ubun kuda (yang dipelihara untuk berjihad) sampai hari kiamat."
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Ini menunjukkan bahwa memiliki dan merawat kuda untuk tujuan membela agama adalah amal yang penuh keberkahan.

2. Anjuran Memelihara Kuda dan Melatih Keterampilan Berkuda

Nabi bersabda:

"Jagalah kuda, bersainglah di atasnya, dan ajarkanlah anak-anak kalian memanah dan berkuda."
(HR. Al-Bukhari)

Mengajarkan berkuda kepada generasi muda bukan hanya sekadar keterampilan, tetapi juga bagian dari membangun kekuatan umat Islam.

3. Pahala Memelihara Kuda karena Iman

Rasulullah bersabda:

"Barang siapa yang memelihara kuda karena iman kepada Allah dan untuk membela agama-Nya, maka kuda itu akan menjadi sumber pahala baginya secara terus-menerus."
(HR. Al-Bukhari)


Hikmah Besar dari Kuda dan Manusia

Ada banyak pelajaran yang dapat diambil dari perbandingan antara kuda perang dan manusia:

  • Kuda sebagai Simbol Semangat: Kekuatan, kecepatan, dan dedikasi kuda mengajarkan manusia untuk bersungguh-sungguh dalam ketaatan kepada Allah.

  • Pengorbanan Tanpa Pamrih: Kuda yang tanpa akal rela berkorban, menjadi cermin agar manusia bersedia berkorban demi meraih ridha Allah.

  • Kesabaran dan Ketekunan: Seperti kuda yang terus berlari, manusia pun dituntut untuk sabar dan tekun dalam meniti jalan kebenaran.

  • Ketaatan Mutlak: Kuda taat kepada penunggangnya, maka sudah semestinya manusia lebih taat kepada Allah, Pencipta seluruh makhluk.

  • Tugas sebagai Khalifah: Manusia memiliki tugas mulia sebagai khalifah di muka bumi, tugas yang menuntut kesungguhan, kesabaran, dan ketaatan.


Penutup

Surah Al-‘Adiyat dan makna "لَكَنُودٌ" mengajarkan kita tentang betapa pentingnya mensyukuri nikmat Allah, menjaga kesetiaan kepada-Nya, serta meneladani semangat, pengorbanan, dan ketaatan sebagaimana dicontohkan oleh kuda perang.

Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang taat, sabar, bersyukur, dan terus berjuang di jalan-Nya.

"Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur." (QS. Saba: 13)

Sumber: Ustaz Dr. Ir. H. Muh. Qasim Saguni, M.A.

Penulis: Ustaz Khair Taslim, S.Si., A.Pt

Editor: Admin MEDIKOM Wahdah Sinjai

Hikmah | 29 Apr | Selengkapnya ...

Uang Panai dalam Perspektif Islam: Syariat atau Adat?

Sinjai, sinjai.wahdah.or.id – Dalam episode terbaru program Carita Santai Agama Kita (CAS AKI) yang digelar di Cafe Karampuang, Ustaz Mustamin, S.Pd.I., S.Sos.I., hadir membahas secara mendalam topik hangat seputar pernikahan, khususnya persoalan uang panai dan waktu yang tepat untuk menikah menurut pandangan Islam. Topik ini mencuri perhatian karena kuatnya pengaruh budaya dalam proses pernikahan masyarakat Bugis-Makassar.

Dalam suasana bincang santai namun sarat makna, Ustaz Mustamin menegaskan bahwa pernikahan dalam Islam adalah ibadah yang sangat serius. Hukum menikah bisa berubah dari sunah menjadi wajib ketika seseorang telah memiliki kesiapan fisik, finansial, dan khawatir terjerumus dalam maksiat. Ia merujuk pada firman Allah dalam QS. An-Nur: 32 yang memerintahkan para wali untuk menikahkan anak-anak mereka yang sudah siap.

Namun, fokus utama diskusi kali ini tertuju pada praktik budaya uang panai yang sering disalahpahami sebagai bagian dari ajaran agama.

Uang panai itu bukan syariat, tapi adat. Yang menjadi bagian dari syariat adalah mahar, yaitu pemberian sah dari mempelai pria kepada wanita. Sedangkan uang panai lebih merupakan bentuk penghormatan keluarga yang sering disalahartikan sebagai syarat utama pernikahan,” jelas Ustaz Mustamin.

Ia juga mengkritisi fenomena penentuan nilai uang panai yang kerap dikaitkan dengan latar belakang pendidikan atau status sosial perempuan.

“Ada yang menentukan: kalau S1 sekian, S2 lebih tinggi, apalagi kalau PNS. Padahal Islam mengajarkan bahwa kriteria utama dalam memilih pasangan adalah agamanya,” tegas beliau.

Menariknya, Ustaz Mustamin turut mengangkat contoh kasus di mana justru perempuan membantu pihak laki-laki agar proses lamaran tetap berjalan. Ada yang berkata, “Berapapun diminta keluarga saya, iyakan saja, karena keputusan terakhir ada di saya.”

Lebih lanjut, beliau mengingatkan masyarakat agar tidak terjebak dalam solusi yang salah seperti silariang—kabur bersama pasangan karena lamaran ditolak—yang bisa menjurus pada perzinaan.

“Islam sudah memberikan jalan yang terhormat: ta’aruf, khitbah, dan akad. Jangan mulai rumah tangga dari jalan yang tidak diridhai Allah,” pesannya.

Diskusi ini ditutup dengan seruan agar masyarakat memudahkan jalan menuju pernikahan dan tidak menjadikan adat sebagai penghalang.

“Jika uang panai menjadi penghambat utama, maka sudah saatnya ada fatwa atau kebijakan yang menegaskan batasannya, agar niat baik tidak terhalang oleh adat yang memberatkan,” pungkas Ustaz Mustamin.

Hikmah | 02 Mei | Selengkapnya ...

Vasektomi dan Pendidikan: Antara Gagasan Modern dan Pertimbangan Nilai Islam

sinjai, sinjai.wahdah.or.id -- Gagasan Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi, tentang pelaksanaan program vasektomi sebagai solusi pengendalian populasi menjadi wacana yang menarik perhatian publik. Di satu sisi, langkah ini menunjukkan keberanian dan kepedulian terhadap masalah kependudukan. Namun di sisi lain, terdapat banyak aspek fundamental yang perlu dipertimbangkan sebelum implementasi dilakukan secara luas. Sebagai seorang pendidik dan Kepala Sekolah, saya memandang isu ini dari perspektif yang lebih luas: tidak hanya medis, tetapi juga pendidikan, agama, dan nilai sosial budaya.

Vasektomi, sebagai metode kontrasepsi permanen bagi pria, memang kerap dilihat sebagai bentuk keadilan dalam peran reproduksi rumah tangga. Namun, dalam konteks keislaman, program ini bukan tanpa catatan serius. Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara tegas menyatakan penolakannya terhadap sterilisasi permanen seperti vasektomi dan tubektomi, kecuali dalam kondisi darurat medis. Dalam ajaran Islam, perencanaan keluarga (tanzim al-usrah) dibolehkan selama tidak mengarah pada pemutusan keturunan secara permanen. Keturunan adalah hak Allah, dan manusia tidak dibenarkan untuk menutup sepenuhnya kemungkinan hadirnya kehidupan baru tanpa alasan syar’i yang jelas.

Dengan mempertimbangkan hal itu, pendekatan terhadap program vasektomi harus sangat hati-hati dan bijaksana. Pelibatan tokoh agama, ormas Islam, dan ulama dalam proses penyusunan dan sosialisasi program menjadi keharusan mutlak. Kebijakan publik yang tidak selaras dengan panduan agama dan etika sosial masyarakat kita, justru berisiko menimbulkan resistensi atau bahkan konflik sosial yang tidak diinginkan.

Dari sisi pendidikan, saya memahami bahwa pengendalian populasi jika dilakukan dengan pendekatan yang tepat tentu dapat berdampak positif pada kualitas keluarga dan anak-anak. Dalam banyak kasus, peserta didik dari keluarga dengan perencanaan yang baik menunjukkan keseimbangan psikologis dan semangat belajar yang lebih tinggi. Namun, sekolah bukanlah tempat untuk kampanye tindakan medis yang masih diperdebatkan secara etik dan agama. Peran sekolah lebih tepat diarahkan pada edukasi nilai-nilai perencanaan hidup, tanggung jawab, kesehatan keluarga, dan penguatan karakter.

Pendidikan dapat menjadi mitra strategis pemerintah dalam menyiapkan generasi muda yang memiliki wawasan masa depan dan kesadaran hidup sehat, tanpa harus menyentuh ranah yang menjadi wilayah keputusan pribadi dan keyakinan keagamaan orang tua. Sekolah bisa memperkuat pemahaman remaja akan pentingnya merancang masa depan keluarga melalui pendekatan yang sesuai usia, norma, dan nilai.

Oleh karena itu, saya mendorong agar gagasan tentang pengendalian penduduk dikemas ulang dalam bentuk program yang lebih inklusif, edukatif, dan tidak bertentangan dengan nilai agama. Jika tujuannya adalah membangun keluarga yang lebih sehat dan sejahtera, maka ada banyak jalan yang bisa ditempuh, seperti peningkatan edukasi keluarga, pemberdayaan ekonomi rumah tangga, dan penyediaan layanan kesehatan yang lebih adil dan merata.

Sebagai pendidik, saya percaya bahwa pembangunan manusia tidak bisa hanya dilakukan dengan pendekatan medis atau statistik. Ia harus dibarengi dengan pemahaman moral, kesadaran spiritual, dan pendekatan budaya. Program vasektomi boleh jadi dimaksudkan sebagai solusi modern, namun pelaksanaannya harus berpijak pada nilai luhur yang selama ini menjadi tiang penyangga masyarakat kita.

Akhirnya, saya berharap setiap program pemerintah dapat mengedepankan asas maslahat, menghormati pandangan keagamaan, dan melibatkan berbagai unsur masyarakat secara utuh. Di sanalah letak keberhasilan pembangunan: bukan sekadar pada hasil kebijakan, tetapi juga pada penerimaan dan keberkahan dalam pelaksanaannya.

Oleh: A. Irfandi

Kepala SMAS IT Wahdah Islamiyah Sinjai 

Hikmah | 05 Mei | Selengkapnya ...
Dengarkan Streaming Online

 Radio Wahdah

Dakwah - Pendidikan - Sosial - Kesehatan

Ormas Islam Bermanhaj Ahlussunnah Wal Jamaah

Profil


DPD Wahdah Islamiyah Bulukumba

Jl. Kusuma Bangsa, Kel. Caile, Kec. Ujung Bulu
Telp. +62 821-4777-1717
Makassar - Indonesia 90234
E-Mail : admin@wahdah.or.id